Foto: Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
Jakarta, CNBC Indonesia – Per 1 Januari 2025, pemerintah memastikan akan menerapkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru, yang naik satu persen menjadi 12%. Kenaikan PPN tersebut telah memicu penolakan dan kritik dari kalangan pengusaha.
Terbaru, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani meminta pemerintahan baru, yang akan dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, membatalkan kebijakan PPN 12% tersebut.
Shinta tak menampik rencana PPN 12% memang bukan suatu kebijakan yang mendadak karena telah dimandatkan dalam Undang-Undang HPP Nomor 7 Tahun 202.
Namun, imbuh dia, kondisi ekonomi saat ini di luar ekspektasi pengusaha pada saat aturan itu dibuat. Sehingga dia meminta agar kebijakan penyesuaian besaran PPN menjadi 12% bisa dievaluasi lebih lanjut di pemerintahan berikutnya.
“Kami juga mendengar masukan daripada pelaku (usaha). Ini harus jadi perhatian pada saatnya itu sudah masuk di pemerintah baru. Mereka bisa mengevaluasi dan melihat perkembangan saat ini, karena jelas ini suatu yang tidak kami antisipasi bahwa kondisi global akan separah ini,” kata Shinta saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Shinta menilai, dengan adanya penyesuaian besaran PPN menjadi 12% di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian, itu akan berpengaruh kepada sektor bisnis hingga daya beli masyarakat.
“Kenaikan (PPN) 12% sebetulnya itu akan dibebankan ke konsumen. Jadi nanti yang akan kena ke konsumennya, bukan ke pelaku usaha. Itu yang harus menjadi perhatian pemerintah kepada konsumen sendiri. Nanti seperti apa. Karena jelas mereka akan membutuhkan insentif dan lain-lain,” ujarnya.
“Mungkin tidak bisa diputuskan sekarang karena ini masih pemerintah Pak Jokowi, tapi ke depan itu kan targetnya Januari akan dinaikkan. Semoga bisa jadi perhatian dan pertimbangan apakah tepat waktunya,” tambah Shinta.
Lebih lanjut, Shinta menyarankan agar pemerintah lebih berfokus pada peningkatan pembayaran dari pajak itu sendiri, bukan justru meningkatkan nilainya. Katanya, ini akan menjadi PR besar yang harus diselesaikan oleh pemerintahan mendatang.
“Ini yang juga sudah kita sampaikan, bahwa kita harus perhatikan bagaimana caranya bisa lebih banyak pengembangan dari segi bayar pajak,” tuturnya.
“Kalau kita lihat industri di Indonesia ini lebih banyak di informal daripada formal. Oleh karenanya, mereka tidak membayar pajak. Ini mungkin sesuatu yang harus lebih kita dorong, untuk bantu bagaimana bisa konversi dari informal ke formal, sehingga bisa bantu juga daripada peningkatan pemasukan pajak,” imbuh dia.
Sebelumnya, merespons reaksi atas rencana kenaikan PPN tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara. Dia menegaskan hal ini bisa diubah, meski sudah disepakati pemerintah dan DPR pada 2021.
“PPN 12% sudah dibahas ini juga termasuk fatsun politik UU HPP yag kita semua bahas udah setuju namun kita hormati pemerintah baru,” terangnya saat rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, dikutip Jumat (19/3/2024).
Menurut Sri Mulyani, pemerintah baru berhak mengubah kebijakan yang sudah disepakati sebelumnya. Tentunya disesuaikan dengan arah dan kebijakan yang dijanjikan ketika kampanye. “Jadi kalau target PPN tetap 11%, nanti https://mesintik.com/disesuaikan,” tegasnya.